Translate

Selasa, 13 Agustus 2013

Dive Training, Certified or Qualified?


Certified or Qualified?
Penyelaman adalah kegiatan diluar kebiasaan normal manusia. Untuk melakukan kegiatan tersebut diperlukan adanya peralatan, pengetahuan dan ketrampilan khusus. Di tahun 1943, J.J.Cousteau dan Emile Gagnan memperkenalkan peralatan scuba yang segera menjadi bagian dari revolusi penyelaman. Sejak saat itu, penyelaman tidak lagi menjadi bagian eksklusive sebagian orang saja namun juga merambah kepada masyarakat umum.
Melalui proses “try and error”, penyusunan standarisasi penyelaman termasuk pengetahuan dan ketrampilan selam berkembang dengan cukup pesat. Pada awal perkembangannya, eksplorasi bawah air di lakukan oleh orang-orang yang sangat terlatih setelah menjalani serangkaian pelatihan yang sangat berat. Hal yg wajar karena pada saat itu teknologi peralatan dan juga ilmu penyelaman masih sangat “primitive”. 


Organisasi selam rekreasi pun bermunculan dengan konsep dan standar pelatihan yang berbeda-beda, namun dengan satu tujuan yaitu memperkenalkan selam sebagai sebuah aktivitas yang dapat dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat. Standarisasi pelatihan tersebut berangsur-angsur menjadi semakin “streamline” dengan berkembangnya teknologi dan system pengajaran penyelaman yang semakin baik. Sebagai sebuah aktivitas yang berbahaya, pendidikan penyelaman menjadi mutlak dengan ditandai adanya sertifikat yang menjadi tanda kelulusan bagi peserta pelatihan yang telah menyelesaikan standar penyelaman yang diajarkan.
Di awal tahun 80an, kegiatan penyelaman mulai masuk ke bidang pariwisata dengan adanya sebutan “recreational diver”, dan sejak saat itu revolusi pengajaran selam mencapai tonggak pijakan yang baru. Kurang dari 10 tahun sesudahnya, wisata penyelaman menjadi salah satu bagian wisata bahari yang berkembang sangat pesat. Semakin banyak masyarakat luas mengikuti pendidikan selam dan menjadi peselam-peselam rekreasi yang kemudian melakukan perjalanan wisata ke berbagai tempat di dunia dan membuka wilayah-wilayah penyelaman baru. Berkembanganya destinasi wisata selam tersebut membuka peluang-peluang usaha berupa dive operator, dive resort, liveaboard dan manufaktur peralatan selam. 


Saat ini kegiatan wisata selam telah menjadi sebuah industry yang terintegrasi meliputi kegiatan pendidikan, wisata, peralatan dan juga konservasi lingkungan. Industri ini semakin besar selaras dengan trend wisata alam yang menjadi daya tarik utama wisata dunia.
Pendidikan penyelaman berkembang dengan sangat pesat memanfaatkan teknologi peralatan yang semakin maju, pengetahuan yang semakin baik, system pengajaran yang semakin modern dan teknologi informasi yang semakin canggih. 
Pendidikan penyelaman dasar bersertifikasi yang di tahun 80an harus ditempuh dalam waktu berminggu-minggu, sekarang dapat ditempuh dalam waktu 4-5 hari (bahkan kurang).
Efektifitas pendidikan dan penyederhanaan standar penyelaman telah menarik masyarakat untuk mengikuti kegiatan ini. Kampanye “dive is easy”, “dive is fun” telah menarik masyarakat untuk mendalami selam sebagai bagian dari aktivitas mereka. 

 
Peningkatan siknifikan jumlah peselam rekreasi dunia di mulai di pertengahan tahun 90an dan terus berlanjut sampai saat ini. Disisi lain, tingkat persaingan usaha jasa penyelaman juga semakin luas dan sengit. Tak terkecuali persaingan antar agensi sertifikasi. Agensi sertifikasi berlomba-lomba menyediakan standar sertifikasi yang semakin “simple” dan “market friendly”, dan akibatnya semakin mudah orang untuk mendapatkan sertifikasi selam, bahkan sertifikasi di tingkat professional pun semakin mudah di dapat. Bisnis sertifikasi selam sudah menjadi industry besar dengan nilai jutaan USD, bahkan ada agensi selam dunia yang sudah dimiliki oleh perusahaan investasi sehingga wajar apabila tujuan profit lebih menonjol dibandingkan idealism pendidikan yang berkualitas.
Untuk melindungi diri masing-masing, agensi penyelaman ber lindung dibalik “liability release” dan juga formulir-formulir “pelepasan tanggung jawab”, bahkan ada agensi selam yang menyatakan bahwa instruktur yang memberi pengajaran selam menggunakan standarnya bukanlah personil yang dapat merepresentasikan diri terkait organisasi yang standarnya digunakan tersebut, alasannnya adalah agensi sudah menyediakan standar namun aktivitas instruktur dan/atau dive operator menjadi tangggung jawab masing-masing. Dengan kata lain, apabila ada instruktur / dive operator yang berlaku “semau gue” itu bukan tanggungjawab agensinya. Sepintas memang masuk akal, namun apabila di dalami artinya tidak ada proses Quality Assurance yang dapat memonitor kegiatan instruktur / dive operator yang diterapkan untuk mengontrol proses pengajaran. Quality Assurance hanya dilakukan secara pasif apabila ada laporan, terjadi kecelakaan atau indikasi pelanggaran setelah proses pendidikan berlangsung bukan pada saat proses itu sedang berlangsung. Ada pula agensi selam yang menggunakan system pengawasan aktif yang dilakukan dive operator terhadap instrukturnya. Pada system ini, dive operator menjadi bagian dari Quality Assurance sehingga selama tidak ada “pat gulipat” antara dive operator dan muridnya, bisa dianggap bahwa selama proses pendidikan dapat lebih mudah diawasi. 
Kondisi semacam ini ditambah adanya tekanan persaingan usaha jasa pendidikan selam, menimbulkan dampak yang sangat negative. Fleksibilitas pelatihan dimanfaatkan untuk mengurangi porsi pelatihan baik secara kuantitas (banyaknya pengetahuan dan/atau ketrampilan) maupun kualitas (lamanya pengajaran dan repetisi pelatihan sangat berpengaruh pada tingkat “mastery”), pelanggaran standar di kemas sedemikian rupa dengan memanipulasi murid, bahkan yang lebih parah adalah kongkalingkong antara murid dengan instruktur/dive operator untuk mendapatkan sertifikat dengan membayar lebih murah dan/atau waktu lebih cepat. Hal seperti inilah yang sekarang menjadi potret miris perkembangan industry pelatihan selam di Indonesia (juga dibanyak tempat didunia). Meningkatnya jumlah peserta pelatihan tidak dibarengi meningkatnya kualitas peselam, kemudahan dan pemanfaatan teknologi informasi dimanipulasi untuk mempercepat pendidikan tanpa peduli hasil akhir dari pendidikan itu sendiri. Akibatnya, semakin sering kita mendengar kecelakaan yang berakibat kematian, bahkan pada saat pelatihan berlangsung.


Menjamurnya instruktur independen dan belum adanya peraturan pemerintah yang mengatur wisata selam juga berkontribusi terhadap tidak terpantaunya pendidikan selam yang “abal-abal”. Saat ini pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sedang mempersiapkan Peraturan Menteri terkait standar usaha wisata selam.
Pengalaman selama ini menyatakan “if you’re not willing to spend time and money for a quality diving education, you better find other activities, or otherwise it may cause your live”.
Sebuah pendidikan selam yang berkualitas sangat tergantung pada kemampuan Instruktur (menerapkan standar pelatihan disertai pengetahuan dan pengalaman), kualitas dive operator (fasilitas, peralatan dan proses pengawasan) dan calon murid (willingness to learn, motivation). Peran agensi utamanya adalah sebagai penyedia standard dan materi pelatihan. Sebaik apapun standard nya, tanpa eksekusi yang benar tetap saja tak ada gunanya.



Tips mencari pendidikan selam yang baik dan berkualitas tinggi serta menjadi peselam yang bertanggungjawab:
  • -        Lakukan pendidikan selam pada operator selam yang memiliki reputasi baik.
  • -        Lakukan wawancara dengan instruktur selam yang akan mengajar anda, tanyakan segala hal terkait standar pendidikan, waktu pendidikan, material pendidikan, fasilitas yang dimiliki, jadwal pendidikan, jumlah peserta dalam satu kelas, adanya “certified assistant” atau tidak, harga pendidikan dan hal-hal yang terkait.
  • -        Minta Instruktur selam anda untuk menunjukkan sertifikatnya. Instruktur anda haruslah orang yang nantinya mengajar anda dan mensertifikasi anda.
  • -        Pastikan standar pengajaran dengan memiliki akses (download, dipinjami atau memiliki sendiri) kepada semua materi pendidikan sesuai dengan tingkat pendidikan anda. Pastikan bahwa materi pendidikan yang anda baca sesuai dengan bahasa yang anda kuasai.
  • -        Minta dive operator untuk menunjukkan peralatan selam yang akan anda gunakan, peralatan yang baik adalah peralatan yang terawat dan berfungsi dengan baik.
  • -        Penuhi semua syarat dan standar pendidikan yang tertulis pada meteri pendidikan anda, apabila instruktur anda mengurangi materi pendidikan tanyakan alasannya dan apabila anda tidak merasa yakin, hubungi agensi pendidikan yang anda ikuti.
  • -        Gunakan waktu semaksimal mungkin untuk mempelajari pengetahuan dan ketrampilan, apabila anda belum merasa yakin tanyakan kepada Instruktur anda dan lakukan pelatihan sampai anda merasa nyaman.
  • -        Ikuti petunjuk Instruktur anda, apabila anda tidak merasa yakin, minta penjelasan yang meyakinkan anda.

Setelah anda menjadi seorang peselam:
  • -        Lakukan penyelaman sesuai dengan kualifikasi, pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman anda.
  • -        Apabila anda mencoba sebuah pengalaman baru, ikutlah pada sebuah perjalanan selam yang dipimpin seorang instruktur dan/atau Dive Leader yang bersertifikat dan berpengalaman. Ikutilah kursus yang terkait kondisi penyelaman yang baru itu atau mintalah bimbingan dari Instruktur atau Dive Leader.
  • -        Respect the environment”, walaupun anda sudah bersertifikat, tidak serta merta anda dapat menaklukkan semua kondisi penyelaman di daerah-daerah baru, diperlukan pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman untuk dapat menyelam dengan aman di daerah-daerah baru, apabila anda tidak yakin, ambilah kursus/workshop/pengenalan bersama Instruktur yang berpengalaman di daerah tersebut. Jaga kondisi lingkungan dimanapun anda menyelam.
  • -        Ikutilah kaidah-kaidah penyelaman aman, baik terkait pengetahuan, ketrampilan, pengalaman, peralatan, kondisi fisik dan mental maupun kondisi lingkungan yang akan anda salami.
  • -        Use your common sense

“ada peselam tua, ada peselam berani, namun tidak ada peselam tua yang berani”(kata-kata dari teman-teman di klub dulu)

Jumat, 02 Agustus 2013

Underwater Photography Indonesia


Underwater Photography, The Eyes of Marine Conservation
Saya memulai fotografi bawah air sejak tahun 1995, dengan menggunakan kamera nikon f801, waktu itu pemotretan bawah air adalah hobi yg sangat mahal. Karena pekerjaan saya sebagai Instruktur Selam, saya memiliki banyak kesempatan untuk mengembangkan hobi ini tanpa perlu merogoh kocek terlalu dalam.
Sejak revolusi digital di era tahun 2000an, perkembangan fotografi bawah air menjadi semakin cepat, bahkan akhir2 ini, semakin banyak saja orang membawa kamera kedalam air. Kendala biaya yang dulu merupakan momok utama sudah dapat diatasi. 

 
Apa Kendala Fotografi Bawah Air?
Untuk menekuni fotografi bawah air, diperlukan skill dan pengetahuan yang sedikit berbeda dengan fotografi darat. Seorang fotografer bawah air memiliki waktu yang sangat terbatas didalam setiap sesi foto. Waktu penyelaman sangat tergantung dari kedalaman, ukuran tabung selam yang dibawa serta kondisi lingkungan dan kondisi tubuh si fotografer (misalnya kalau menyelam di daerah berarus, tentunya akan lebih cepat menghabiskan udara, penyelaman yg makin dalam juga menghabiskan banyak udara serta terbatas waktunya dengan perhitungan dekompresi dan resiko nitrogen narkosis).

Seorang fotografer bawah air mutlak haruslah seorang Certified Diver. Pada saat kursus menjadi certified diver inilah, si calon fotografer akan mempelajari kaidah-kaidah penyelaman yang aman dan juga ketrampilan yang dibutuhkan selama penyelaman.


Setiap fotografer yang belum pernah memotret di bawah air mungkin sulit membayangkan, bahwa kendala pertama dan terbesar dari pemotretan di bawah air adalah stabilitas fotografer pada saat mengambil gambar. Di darat kita bisa berdiri, bahkan bisa menggunakan tripod sehingga stabil. Dibawah air kita senantiasa "terbang" dan tidak bisa mendapatkan pijakan yang solid. Kita harus dapat memotret dalam keadaan sambil "melayang-layang". Bisa dibayangkan bagaimana kita mengambil sebuah gambar yang bergerak dan pada saat yang bersamaan kita juga tidak stabil. Kendala ini menjadi lebih besar apabila kita memotret foto-foto wide angle. Untuk foto macro, kita masih bisa "berdiam" di dasar (tentunya sambil memperhatikan sekeliling sehingga tidak merusak terumbu karang, terkena binatang laut berbahaya, atau mengaduk-aduk pasir sehingga merusak jarak pandang). Untuk wide angle, sebagian besar dilakukan sambil melayang.
Untuk mengatasi kendala pertama tersebut, seorang fotografer bawah laut wajib hukumnya memiliki ketrampilan "buoyancy" yang baik. Semakin baik skill buoyancy ini, semakin stabil pula si fotografer di bawah air. 

 
Peralatan Fotografi Bawah Air Seperti Apa?
Peralatan fotografi bawah air sebenarnya hanyalah sebuah kamera "darat" yang di lengkapi housing (rumah kedap air). Sekarang banyak kamera poket yang memiliki housing bawah air seperti ini. Kamera poket standar yg banyak di jual sebenarnya sudah dapat digunakan mengambil gambar di bawah air, walaupun hanya efektif untuk mengambil gambar dengan ukuran subjek sekitar 3-15 cm dengan jarak pemotretan sekitar 5 - 30 cm. 
Penggunaan kamera poket utk pemotretan macro adalah jenis underwater fotografi yang paling mudah dilakukan. Dengan memilih subjek yg relatif tidak bergerak, si fotografer hanya perlu mengatur intensitas cahaya serta mendekati subjek, mem fokus dan memotret. Apabila subjeknya aktif bergerak, pemotretan ini menjadi semakin sulit. 
Kamera poket standar ini juga lumayan apabila digunakan untuk pemotretan siluet. Untuk pemotretan wide angle, kamera poket dapat dilengkapi tambahan lensa didepannya serta perlu menggunakan external flash. Resiko vignet biasanya menjadi kendala apabila kamera poket dipakai untuk potret wide angle dengan menggunakan lensa tambahan. Pengaturan white balance yang optimal serta penambahan filter merupakan pilihan untuk mengurangi warna biru yang sangat dominan pada foto wide angle.
Kamera dslr memiliki keunggulan sendiri dalam mereproduksi warna di bawah air. Dengan sensor yang relatif lebih besar, kendala noise bisa diminimalkan. Kualitas lensa dslr-pun cenderung lebih baik dari kamera poket.
Selama ini lensa dslr yang paling populer untuk pemotretan bawah air adalah (referensi saya Nikon, karena selama ini saya pengguna nikon): 10,5mm, 12-24, 17-35 (utk lensa wide dan zoom), 60mm macro dan 105mm macro (macro), 180mm/200mm macro (extreme macro). Dibawah air, lensa-lensa ini akan berubah focal length-nya. dengan faktor 1,33x, sehingga utk mendapatkan efek wide, kita perlu lensa darat yg benar-benar wide (belum lagi memperhitungkan cropping factor dari sensor kamera yang digunakan, kecuali anda pakai full frame sensor). Penambahan wet lens juga dimungkinkan untuk merubah sudut lensa di bawah air.



Reproduksi Warna di Bawah Air
Air adalah filter raksasa, sebuah filter yang mampu menyerap gelombang cahaya matahari. Hal ini menyebabkan reproduksi warna di bawah air menjadi kendala tersendiri. Pada kedalaman sekitar 3-5m, kita sudah hampir kehilangan warna merah, selanjutnya semakin dalam menyelam, warna2 jingga, kuning, hijau dst juga menghilang. Pada kedalaman sekitar 20m, tanpa flash kita hanya akan merekam warna biru saja. Hal ini diperburuk apabila kondisi airnya keruh.
Penyerapan warna dibawah air terjadi secara vertikal dan horisontal, artinya makin jauh jarak kamera dengan subjek, makin hilang pula warnanya serta berkurang pula ketajaman subjek. Belum lagi kalau kondisi perairan keruh, seperti halnya kita memotret didalam kabut.
Untuk mendapatkan warna asli dari subjek dibawah air, wajib hukumnya menggunakan flash (walaupun utk pemotretan dangkal sebenarnya ada jenis filter khusus yg bisa digunakan). Tanpa flash, semua subjek yg kita potret akan berwarna biru/hijau/cyan yg berlebihan. Kekuatan flash pun mempengaruhi sejauh mana warna akan timbul. Sayangnya walaupun kita menggunakan flash paling kuat pun, jangkauan flash hanya sekitar 3-4m. Perhitungan Guide Number yang biasa kita pakai di darat kurang tepat apabila kita terapkan dibawah air. 
 Aturan yang paling penting didalam usaha memproduksi warna di bawah air adalah "mendekatlah ke subjek, semakin dekat semakin baik, kalau anda sudah merasa dekat, artinya anda masih kurang dekat" sedekat apa kita dengan subjek pada kenyataannya sangat dipengaruhi oleh lensa yg digunakan, komposisi yg diinginkan serta kondisi lingkungan dan subjek yang akan dipotret dan juga tentunya ketrampilan kita di bawah air. 


Partikel di air juga menjadi tantangan tersendiri. Sudut penggunaan flash yang salah akan menyebabkan makin banyaknya partikel yg ikut terekam pada gambar, sehingga timbul titik-titik partikel yg di sebut back scatter. Back scatter dapat diminimalisasi dengan penempatan sudut flash secara tepat, namun kadang2 masih juga terekam apabila kita memotret pada kondisi air yg kurang jernih. Untuk pemotretan macro, back scatter ini biasanya tidak terlalu mengganggu. Semakin wide, back scatter ini akan makin menggangu.


Fotografi Alam Bawah Air dan Fotografi Model di Bawah Air
Fotografi bawah air termasuk bagian dari wild life photography. Selayaknya wild life photography, seorang fotografer harus mempelajari dengan seksama tingkah laku dari subjek foto yang akan diambil. Kadang-kadang tidak mudah mencari seekor ikan tertentu apabila kita tidak mengenal habitatnya. Akan lebih sulit lagi mendapatkan foto yang baik apabila kita tidak mengenal karakter ikan yang ingin kita potret, bahkan untuk beberapa kasus bisa berbahaya. 
 

Fotografi bawah air dengan menggunakan model (dilaut tanpa peralatan apapun) juga merupakan tantangan tersendiri. Fotografi jenis ini baru sangat baru di Indonesia, dan pula sangat jarang dijumpai di dunia. Hal ini tidaklah mengherankan, kesulitan yang timbul pada sesi pengambilan gambar bawah air dengan model menjadi berlipat-lipat, kesulitan ini tidak hanya pada setting lokasi, namun juga pada fotografer, crew dan juga modelnya. Seorang model bawah air yang baik harus memiliki mental dan fisik yang kuat ditunjang pengetahuan dan ketrampilan serta “watermanship” yang baik. Membuat seorang model yang mampu berpose secara natural dibawah air tanpa peralatan apapun merupakan tantangan yang tidak mudah serta dibutuhkan latihan yang terus menerus. Kekuatan sebuah foto jenis ini adalah bagaimana menggabungkan antara ekspresi model yg sangat natural dengan suasana keindahan dasar laut yg berwarna warni dan kaya akan ikan-ikan.


Di darat mudah bagi kita untuk mengarahkan si model, namun dibawah air hal ini menjadi kendala tersendiri, kita harus berinteraksi dengan model hanya dengan mengandalkan "hand signal". Walaupun dipasaran dijual alat komunikasi bawah air, namun harganya cukup mahal. Biasanya model bawah air (di laut khususnya) di potret dengan menggunakan peralatan scuba lengkap. Pemotretan model dibawah air (di laut) pada kedalaman lebih dari 2 meter tanpa menggunakan scuba memerlukan ketrampilan yang harus dilatih secara khusus, hal ini disebabkan meningkatnya resiko bagi si model, terutama resiko tenggelam (air masuk ke paru-paru) atau bahkan pecah nya paru-paru, keduanya bisa menimbulkan kematian. Persiapan pemotretan jenis ini harus direncanakan secara teliti termasuk melatih model untuk berinteraksi dengan safety diver serta dengan fotografernya. Dalam hal ini si fotografer hanya memiliki waktu yang sangat sempit untuk mengambil gambar model pada setiap posenya dan harus mampu menjadi "pagar pengaman" terakhir apabila safety diver yang ditugaskan gagal melaksanakan tugasnya. Kecuali anda punya safety diver yang banyak.


Sesi pemotretan model bawah laut (tanpa peralatan) harus memenuhi syarat keselamatan 3 lapis, yaitu: lapis pertama adalah kemampuan model untuk beraktifitas dibawah air dengan tingkat pengetahuan dan ketrampilan yang optimum (pengetahuan dan ketrampilan ini tidak sama dengan yang diajarkan pada kursus scuba pada umumnya), Lapis kedua adalah kemampuan safety diver untuk mengenali tanda-tanda “khusus” yang mungkin membahayakan di model, lapis terakhir adalah kemampuan fotografer sebagai “pagar pengaman terakhir”, apabila model maupun safety diver gagal mengantisipasi masalah, fotografer harus mampu mengambil tindakan keamanan untuk mencegah timbulnya kecelakaan.
Demikian berkembangnya kegiatan fotografi bawah laut, diharapkan bisa meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap kehidupan dan kelestarian alam bawah air, yang mana pada saat ini menghadapi ancaman serius dari akibat tindakan manusia.

Salam bahari,

Untuk pertanyaan lebih lanjut mengenai fotografi bawah air, anda dapat melayangkan email ke: ciptoag@gmail.com

Housing untuk Underwater Photography dan perlengkapannya dapat diperoleh di: Sea Pearl Dive Centre, www.seapearldc.com, atau telp: +62215638265 atau dengan Andre +62818959535

Kamis, 01 Agustus 2013

Underwater Indonesia - Bali Diving, Les Village, the First Marine Voluntourism Site in Indonesia


Desa LES – Wisata “Voluntourism Coral Farm” Pertama di Indonesia  (www.divevoluntourism.com)  
Contact:  Made Mertha (Eka) +6281338547944 (bahasa Indonesia), Gari +6285739452577 (English)

Desa Les, sebuah desa pesisir di sebelah utara Bali, masih termasuk wilayah kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng. Sepintas lalu tidak ada yang istimewa dibandingkan desa-desa nelayan lainnya di sepanjang sisi utara Bali. Hanya saja apabila anda mendekati wilayah pesisirnya, dengan mudah anda akan menemukan kolam-kolam ikan dan aquarium-aquarium berisi ikan hias air laut. Sebagian besar nelayan desa Les adalah nelayan ikan hias.

Mencari ikan hias sudah menjadi mata pencaharian mereka sejak lebih dari 30 tahun yang lalu. Pada mulanya nelayan desa Les mencari ikan hias dengan mengandalkan jaring, namun hal itu tidak berlangsung lama. Permintaan ikan hias yang makin meningkat dan juga karena desakan “pedagang” membuat mereka beralih menggunakan potassium sianida, yang biasa mereka sebut “potas” atau “bius”. Penggunaan potas secara siknifikan telah meningkatkan kemampuan mereka mencari ikan. Hanya dengan sekaleng kecil potas dicampur air yang dimasukkan kedalam sebuah botol plastik, nelayan desa Les sudah dapat membawa pulang seember ikan hias. Tingkat kematian (mortalitas) ikan hias yang tinggi sebagai akibat penggunaan potas tidak terlalu dirasakan. Tapi itu dulu, tiga puluh tahun yang lalu, dimana lingkungan bawah air mereka masih relatif bagus dan banyak dijumpai ikan hias.

Berangsur-angsur penggunaan potas telah meracuni lingkungan laut desa Les. Sekali semprotan potas berpotensi menyebabkan kematian terumbu karang seluas 1-2 m2 dalam waktu dua sampai tiga bulan, bayangkan apabila terdapat rata-rata 30 orang bekerja setiap hari selama bertahun-tahun menyemprotkan potas. Tak heran apabila di awal tahun 2000an, kondisi terumbu karang desa Les sudah sangat memprihatinkan, hampir 70% terumbu karang disekitar desa sudah mati dan hancur. Awan kelabu menaungi kehidupan nelayan desa Les, menangkap ikan jadi jauh lebih sulit. Untuk menghidupi keluarga, terpaksa mereka berlayar ke luar daerah bahkan mencapai Sulawesi tenggara dan Nusa Tenggara Timur. Biaya melaut menjadi jauh lebih tinggi dan resiko pun meningkat tajam.

 
Di awal tahun 2000, beberapa orang dari Yayasan Bahtera Nusantara dan Perkumpulan Telapak mengunjungi desa Les. Berbekal pengalaman penanganan “destructive fishing” di Philipina, mereka menawarkan sebuah alternative cara tangkap yang ramah lingkungan. Penggunaan jaring penghalang dan jaring kecil dibantu oleh sebuah ember menjadi solusi ramah lingkungan menggantikan penggunaan potas.  Pada mulanya hanya dua orang nelayan yang berminat dengan menggunakan cara ini, Nyoman Triada dan Nengah Arsana. Sebelumnya Nyoman Triada adalah salah satu dedengkot potas, bahkan Nyoman pernah merasakan dinginnya terali besi gara-gara tertangkap pada saat menggunakan potas. Berkat ketekunan keduanya, mereka berhasil menguasai teknik penangkapan ikan hias dengan menggunakan jaring penghalang dan jaring kecil. Kekhawatiran bahwa tangkapan mereka akan berkurang karena penggunaan jaring tidak terbukti, bahkan ikan hasil tangkapan mereka memiliki kualitas yang jauh lebih baik dengan tingkat kematian yang rendah. Dan merekapun berhasil menjual ikannya dengan lebih mudah karena pedagang juga diuntungkan dengan adanya tingkat kematian yang rendah itu. Melihat contoh keberhasilan itu, berangsur-angsur nelayan desa Les mulai beralih menggunakan jaring. Pada tahun 2002, seluruh nelayan desa Les secara sadar telah meninggalkan penggunaan potas dan beralih menggunakan jaring. Di tahun itu pula, dibentuklah kelompok ikan hias desa Les, yaitu kelompok nelayan Mina Bhakti Soansari. Pelarangan penggunaan potas bahkan diimplementasikan dalam peraturan desa dengan sangsi keras bagi pelanggarnya.

Didalam upaya menjaga lingkungan desa Les, para nelayan tidak berhenti hanya pada cara penangkapan ramah lingkungan, namun juga mambatasi penangkapan ikan. Apabila pada saat menggunakan potas dijumpai tingkat kematian ikan yang tinggi (hingga 80%), sekarang tingkat mortalitas dapat ditekan sampai dibawah 5% saja, konsekuensinya penangkapan ikan menjadi jauh berkurang tanpa mengurangi keuntungan penjualan. Nelayan desa Les juga belajar melakukan pencatatan dan pengamatan populasi ikan sehingga mampu membatasi jumlah penangkapan disesuaikan dengan wilayah tangkapan. Merekapun belajar berbisnis untuk mengekspor ikan hias hasil tangkapannya, akhirnya dengan dana bantuan dari GEF – SGP (Global Environment Facility – Small Grant Program) UNDP, kelompok nelayan desa Les mampu mendirikan perusahaan ekspor ikan hias sendiri. 
Setelah sekian lama melakukan pengrusakan terumbu karang, pada tahun 2003, dimulailah usaha rehabilitasi di desa Les. Transplantasi terumbu karang menjadi pilihan metode rehabilitasi. Kelompok nelayan Mina Bhakti Soansari menjadi ujung tombak gerakan rehabilitasi ini. Dengan anggota sekitar 90 nelayan aktif, kelompok nelayan ini berbagi tugas untuk melakukan penanaman dan perawatan terumbu karang disekitar desa.

Sejak tahun 2005, nelayan desa Les telah berhasil melakukan rehabilitasi terumbu karang di wilayah mereka. Sekarang mereka bahkan menawarkan wilayah rehabilitasi terumbu karang itu sebagai salah satu atraksi wisata penyelaman, mereka menamakannya “coral farm dive site” (kebun terumbu karang). Diwilayah rehabilitasi ini, semua nelayan dilarang melakukan penangkapan ikan. Wisatawan yang berkunjung akan disuguhi atraksi penyelaman terumbu karang yang luar biasa dan juga berkesempatan melakukan adopsi terumbu karang sebagai bentuk perhatian mereka terhadap keberlanjutan usaha rehabilitasi yang ada.

Perjalanan ke desa Les menempuh jarak sekitar 100 km ke sebelah utara Denpasar. Perjalanan melalui daerah Ubud yang sangat elok dengan pemandangan sawah terasering di sebelah kanan dan kiri. Menjelang danau kintamani, temperature udara mulai berkurang dan angin dingin menyeruak diantara jendela mobil yang kami tumpangi. Untuk menghemat bahan bakar dan menikmati udara sejuk, kami pun membuka kaca jendela. Sekitar 10 km meninggalkan Kintamani, mobil berbelok ke kanan dan menyusuri daerah berbukit yang menurun menuju kecamatan Tejakula. Setibanya di pertigaan jalan lintas utara Singaraja – Karangasem, mobil berbelok ke kanan. Sekitar 10 km dari pertigaan itu, disebelah kiri jalan terpampang tulisan “Selamat Datang di Desa Les”.
Lokasi “coral farm” ini tak jauh dari pantai, hanya sepelemparan batu dari bangunan sederhana milik kelompok. Wisatawan yang datang akan diberikan sedikit pengenalan tentang sejarah desa Les dan kaitannya dengan pengembangan kebun terumbu yang mereka miliki. Biasanya dengan bangga, anggota kelompok juga akan menunjukkan bagaimana mereka sekarang telah memiliki perusahaan sendiri serta mampu menjaga lingkungan dan tidak lagi di cap sebagai “perusak”.

Wisatawan yang membawa alat selam akan dibantu oleh beberapa anggota kelompok yang bertugas sebagai “pemandu”, sedangkan bagi yang tidak dapat menyelam bisa melakukan aktifitas snorkeling untuk melihat “coral farm” dari permukaan.
Berjalan kurang lebih 50 meter kesebelah timur, dan tibalah kami di bibir pantai yang berhadapan langsung dengan wilayah “coral farm”. Pantai yang berbatu agak menyulitkan kami untuk berjalan dengan membawa alat selam, dan sepertinya pemandu kami mengerti benar kesulitan itu, dengan tangannya pemandu kami melambai kearah beberapa nelayan yang dengan sigap mengangkat perlengkapan selam kami dan membawanya dekat “entry point” di hadapan “coral farm”. Setelah bersiap-siap dengan peralatan kami, mulailah kami berjalan menuju air yang lebih dalam.

Hampir tercekat napas melihat hamparan terumbu yang cukup luas terbentang di kanan kiri, benar-benar tak terbayangkan bahwa inilah tempat yang sebelumnya memiliki kerusakan terumbu karang lebih dari 70%, terus terang yang kami bayangkan adalah kondisi terumbu karang yang lebih buruk. Hamparan terumbu ini tidak bedanya dengan tempat-tempat penyelaman yang terkenal di bagian lain di Indonesia. Tutupan terumbunya hampir mencapai 80% dan sedikit sekali ditemukan bekas-bekas kerusakan. Struktur bawah laut yang landai membawa kami mendekati kedalam 6 meter sampai pada batas terumbu dan dasar berpasir, jarak pandang yang mencapai 15 meter memungkinkan kami melihat  dengan jelas struktur terumbu karang buatan yang membentuk huruf L, E, S, inilah wilayah “coral farm” desa Les. Dengan sengaja, nelayan desa Les membangun struktur terumbu karangnya mengikuti huruf-huruf L, E, dan S dan menanam terumbu karang pada struktur tersebut. Kawasan “coral farm” itu juga dipenuhi oleh berbagai jenis ikan karang dari jenis butterflyfish, wrasse, damselfish, surgeonfish, cardinalfish dan juga goby dan blenny. Kami juga menemukan segerombolan “Blue Tang Triggerfish (Pharacanthurus Hepatus)”, ikan berwarna biru dengan corak hitam membentuk angka “6” ini sering mereka sebut dengan nama “letter six”, ikan ini adalah primadona perdagangan ikan hias. Menurut informasi nelayan desa Les, jenis ikan ini sudah lenyap dari perairan desa Les sejak pertengahan tahun 90an, namun sekarang mereka sudah kembali lagi. Spesies yang juga sempat hilang di desa Les adalah “clown fish” atau ikan badut, dan spesies inipun telah kembali menghuni kawasan terumbu disini.

Bagi underwater photographer yang menyukai fotografi macro, tempat ini sangat cocok. Disekitar hamparan terumbu karang buatan maupun alaminya banyak tersimpan objek foto yang menarik. Arus lautnya pun relative tenang, kedalaman maksimum hanya sekitar 7 – 9 meter. Kondisi ini memungkinkan peselam menghabiskan waktu yang cukup lama untuk mencari dan menemukan mahluk-mahluk yang tersembunyi di antara pasir, contohnya ikan jenis “stargazer”.
Terumbu karang yang ditanam disitu juga memiliki keunikan tersendiri. Di tiap-tiap terumbu terdapat nama orang dan ada pula nama perusahaan. Itulah nama-nama “adopter” terumbu karang tersebut. Kelompok nelayan desa Les membangun terumbu karangnya secara swadaya namun juga membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi, melalui program “Adopt the Coral”. Saat ini, program wisata “coral farm” dan “adopt the coral” ini merupakan satu-satunya di Indonesia. Sejak tahun 2011, wisata Coral Farm desa Les juga dikenal sebagai situs wisata Voluntourism maritim pertama di Indonesia. Wisatawan yang datang saling belajar bersama masyarakat untuk mendapatkan pengalaman yang saling memperkaya pengetahuan mereka. Promosi desa Les dilakukan secara swadaya dan telah menggapai pasar wisata eropa dan australia.

Wisatawan yang menjadi adopter dan bisa menyelam diberi kesempatan untuk menanam terumbu karangnya sendiri. Tentunya suatu hal yang cukup unik juga. Yang tak kalah menarik adalah mencoba menangkap ikan hias dengan menggunakan jaring kecil. Wisatawan peselam yang tertarik dapat belajar menangkap ikan hias dengan jaring kecil tanpa melukai dan membuat stress ikan yang ditangkap, hanya saja ikan hasil tangkapan itu harus segera dilepas kembali. Suatu pengalaman yang tidak dijumpai di tempat lain
Nelayan desa Les telah membuktikan bahwa pemanfaatan sumber daya alam tidak harus saling bertentangan, penangkapan ikan ramah lingkungan, dan pemanfaatan laut sebagai atraksi wisata ternyata dapat saling berdampingan dan bersama-sama meningkatkan kesejahteraan mereka. 

Untuk mencapai desa Les:
- Penerbangan nasional dan internasional ke Bali, dilanjutkan perjalanan darat ke desa Les. Paket perjalanan tersedia termasuk transport dan akomodasi serta aktifitas penyelaman.
- Keterangan lanjut bisa menghubungi: Made Mertha (Eka) +6281338547944 (bahasa Indonesia), Gari +6285739452577 (English)