Translate

Kamis, 01 Agustus 2013

Underwater Indonesia - Bali Diving, Les Village, the First Marine Voluntourism Site in Indonesia


Desa LES – Wisata “Voluntourism Coral Farm” Pertama di Indonesia  (www.divevoluntourism.com)  
Contact:  Made Mertha (Eka) +6281338547944 (bahasa Indonesia), Gari +6285739452577 (English)

Desa Les, sebuah desa pesisir di sebelah utara Bali, masih termasuk wilayah kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng. Sepintas lalu tidak ada yang istimewa dibandingkan desa-desa nelayan lainnya di sepanjang sisi utara Bali. Hanya saja apabila anda mendekati wilayah pesisirnya, dengan mudah anda akan menemukan kolam-kolam ikan dan aquarium-aquarium berisi ikan hias air laut. Sebagian besar nelayan desa Les adalah nelayan ikan hias.

Mencari ikan hias sudah menjadi mata pencaharian mereka sejak lebih dari 30 tahun yang lalu. Pada mulanya nelayan desa Les mencari ikan hias dengan mengandalkan jaring, namun hal itu tidak berlangsung lama. Permintaan ikan hias yang makin meningkat dan juga karena desakan “pedagang” membuat mereka beralih menggunakan potassium sianida, yang biasa mereka sebut “potas” atau “bius”. Penggunaan potas secara siknifikan telah meningkatkan kemampuan mereka mencari ikan. Hanya dengan sekaleng kecil potas dicampur air yang dimasukkan kedalam sebuah botol plastik, nelayan desa Les sudah dapat membawa pulang seember ikan hias. Tingkat kematian (mortalitas) ikan hias yang tinggi sebagai akibat penggunaan potas tidak terlalu dirasakan. Tapi itu dulu, tiga puluh tahun yang lalu, dimana lingkungan bawah air mereka masih relatif bagus dan banyak dijumpai ikan hias.

Berangsur-angsur penggunaan potas telah meracuni lingkungan laut desa Les. Sekali semprotan potas berpotensi menyebabkan kematian terumbu karang seluas 1-2 m2 dalam waktu dua sampai tiga bulan, bayangkan apabila terdapat rata-rata 30 orang bekerja setiap hari selama bertahun-tahun menyemprotkan potas. Tak heran apabila di awal tahun 2000an, kondisi terumbu karang desa Les sudah sangat memprihatinkan, hampir 70% terumbu karang disekitar desa sudah mati dan hancur. Awan kelabu menaungi kehidupan nelayan desa Les, menangkap ikan jadi jauh lebih sulit. Untuk menghidupi keluarga, terpaksa mereka berlayar ke luar daerah bahkan mencapai Sulawesi tenggara dan Nusa Tenggara Timur. Biaya melaut menjadi jauh lebih tinggi dan resiko pun meningkat tajam.

 
Di awal tahun 2000, beberapa orang dari Yayasan Bahtera Nusantara dan Perkumpulan Telapak mengunjungi desa Les. Berbekal pengalaman penanganan “destructive fishing” di Philipina, mereka menawarkan sebuah alternative cara tangkap yang ramah lingkungan. Penggunaan jaring penghalang dan jaring kecil dibantu oleh sebuah ember menjadi solusi ramah lingkungan menggantikan penggunaan potas.  Pada mulanya hanya dua orang nelayan yang berminat dengan menggunakan cara ini, Nyoman Triada dan Nengah Arsana. Sebelumnya Nyoman Triada adalah salah satu dedengkot potas, bahkan Nyoman pernah merasakan dinginnya terali besi gara-gara tertangkap pada saat menggunakan potas. Berkat ketekunan keduanya, mereka berhasil menguasai teknik penangkapan ikan hias dengan menggunakan jaring penghalang dan jaring kecil. Kekhawatiran bahwa tangkapan mereka akan berkurang karena penggunaan jaring tidak terbukti, bahkan ikan hasil tangkapan mereka memiliki kualitas yang jauh lebih baik dengan tingkat kematian yang rendah. Dan merekapun berhasil menjual ikannya dengan lebih mudah karena pedagang juga diuntungkan dengan adanya tingkat kematian yang rendah itu. Melihat contoh keberhasilan itu, berangsur-angsur nelayan desa Les mulai beralih menggunakan jaring. Pada tahun 2002, seluruh nelayan desa Les secara sadar telah meninggalkan penggunaan potas dan beralih menggunakan jaring. Di tahun itu pula, dibentuklah kelompok ikan hias desa Les, yaitu kelompok nelayan Mina Bhakti Soansari. Pelarangan penggunaan potas bahkan diimplementasikan dalam peraturan desa dengan sangsi keras bagi pelanggarnya.

Didalam upaya menjaga lingkungan desa Les, para nelayan tidak berhenti hanya pada cara penangkapan ramah lingkungan, namun juga mambatasi penangkapan ikan. Apabila pada saat menggunakan potas dijumpai tingkat kematian ikan yang tinggi (hingga 80%), sekarang tingkat mortalitas dapat ditekan sampai dibawah 5% saja, konsekuensinya penangkapan ikan menjadi jauh berkurang tanpa mengurangi keuntungan penjualan. Nelayan desa Les juga belajar melakukan pencatatan dan pengamatan populasi ikan sehingga mampu membatasi jumlah penangkapan disesuaikan dengan wilayah tangkapan. Merekapun belajar berbisnis untuk mengekspor ikan hias hasil tangkapannya, akhirnya dengan dana bantuan dari GEF – SGP (Global Environment Facility – Small Grant Program) UNDP, kelompok nelayan desa Les mampu mendirikan perusahaan ekspor ikan hias sendiri. 
Setelah sekian lama melakukan pengrusakan terumbu karang, pada tahun 2003, dimulailah usaha rehabilitasi di desa Les. Transplantasi terumbu karang menjadi pilihan metode rehabilitasi. Kelompok nelayan Mina Bhakti Soansari menjadi ujung tombak gerakan rehabilitasi ini. Dengan anggota sekitar 90 nelayan aktif, kelompok nelayan ini berbagi tugas untuk melakukan penanaman dan perawatan terumbu karang disekitar desa.

Sejak tahun 2005, nelayan desa Les telah berhasil melakukan rehabilitasi terumbu karang di wilayah mereka. Sekarang mereka bahkan menawarkan wilayah rehabilitasi terumbu karang itu sebagai salah satu atraksi wisata penyelaman, mereka menamakannya “coral farm dive site” (kebun terumbu karang). Diwilayah rehabilitasi ini, semua nelayan dilarang melakukan penangkapan ikan. Wisatawan yang berkunjung akan disuguhi atraksi penyelaman terumbu karang yang luar biasa dan juga berkesempatan melakukan adopsi terumbu karang sebagai bentuk perhatian mereka terhadap keberlanjutan usaha rehabilitasi yang ada.

Perjalanan ke desa Les menempuh jarak sekitar 100 km ke sebelah utara Denpasar. Perjalanan melalui daerah Ubud yang sangat elok dengan pemandangan sawah terasering di sebelah kanan dan kiri. Menjelang danau kintamani, temperature udara mulai berkurang dan angin dingin menyeruak diantara jendela mobil yang kami tumpangi. Untuk menghemat bahan bakar dan menikmati udara sejuk, kami pun membuka kaca jendela. Sekitar 10 km meninggalkan Kintamani, mobil berbelok ke kanan dan menyusuri daerah berbukit yang menurun menuju kecamatan Tejakula. Setibanya di pertigaan jalan lintas utara Singaraja – Karangasem, mobil berbelok ke kanan. Sekitar 10 km dari pertigaan itu, disebelah kiri jalan terpampang tulisan “Selamat Datang di Desa Les”.
Lokasi “coral farm” ini tak jauh dari pantai, hanya sepelemparan batu dari bangunan sederhana milik kelompok. Wisatawan yang datang akan diberikan sedikit pengenalan tentang sejarah desa Les dan kaitannya dengan pengembangan kebun terumbu yang mereka miliki. Biasanya dengan bangga, anggota kelompok juga akan menunjukkan bagaimana mereka sekarang telah memiliki perusahaan sendiri serta mampu menjaga lingkungan dan tidak lagi di cap sebagai “perusak”.

Wisatawan yang membawa alat selam akan dibantu oleh beberapa anggota kelompok yang bertugas sebagai “pemandu”, sedangkan bagi yang tidak dapat menyelam bisa melakukan aktifitas snorkeling untuk melihat “coral farm” dari permukaan.
Berjalan kurang lebih 50 meter kesebelah timur, dan tibalah kami di bibir pantai yang berhadapan langsung dengan wilayah “coral farm”. Pantai yang berbatu agak menyulitkan kami untuk berjalan dengan membawa alat selam, dan sepertinya pemandu kami mengerti benar kesulitan itu, dengan tangannya pemandu kami melambai kearah beberapa nelayan yang dengan sigap mengangkat perlengkapan selam kami dan membawanya dekat “entry point” di hadapan “coral farm”. Setelah bersiap-siap dengan peralatan kami, mulailah kami berjalan menuju air yang lebih dalam.

Hampir tercekat napas melihat hamparan terumbu yang cukup luas terbentang di kanan kiri, benar-benar tak terbayangkan bahwa inilah tempat yang sebelumnya memiliki kerusakan terumbu karang lebih dari 70%, terus terang yang kami bayangkan adalah kondisi terumbu karang yang lebih buruk. Hamparan terumbu ini tidak bedanya dengan tempat-tempat penyelaman yang terkenal di bagian lain di Indonesia. Tutupan terumbunya hampir mencapai 80% dan sedikit sekali ditemukan bekas-bekas kerusakan. Struktur bawah laut yang landai membawa kami mendekati kedalam 6 meter sampai pada batas terumbu dan dasar berpasir, jarak pandang yang mencapai 15 meter memungkinkan kami melihat  dengan jelas struktur terumbu karang buatan yang membentuk huruf L, E, S, inilah wilayah “coral farm” desa Les. Dengan sengaja, nelayan desa Les membangun struktur terumbu karangnya mengikuti huruf-huruf L, E, dan S dan menanam terumbu karang pada struktur tersebut. Kawasan “coral farm” itu juga dipenuhi oleh berbagai jenis ikan karang dari jenis butterflyfish, wrasse, damselfish, surgeonfish, cardinalfish dan juga goby dan blenny. Kami juga menemukan segerombolan “Blue Tang Triggerfish (Pharacanthurus Hepatus)”, ikan berwarna biru dengan corak hitam membentuk angka “6” ini sering mereka sebut dengan nama “letter six”, ikan ini adalah primadona perdagangan ikan hias. Menurut informasi nelayan desa Les, jenis ikan ini sudah lenyap dari perairan desa Les sejak pertengahan tahun 90an, namun sekarang mereka sudah kembali lagi. Spesies yang juga sempat hilang di desa Les adalah “clown fish” atau ikan badut, dan spesies inipun telah kembali menghuni kawasan terumbu disini.

Bagi underwater photographer yang menyukai fotografi macro, tempat ini sangat cocok. Disekitar hamparan terumbu karang buatan maupun alaminya banyak tersimpan objek foto yang menarik. Arus lautnya pun relative tenang, kedalaman maksimum hanya sekitar 7 – 9 meter. Kondisi ini memungkinkan peselam menghabiskan waktu yang cukup lama untuk mencari dan menemukan mahluk-mahluk yang tersembunyi di antara pasir, contohnya ikan jenis “stargazer”.
Terumbu karang yang ditanam disitu juga memiliki keunikan tersendiri. Di tiap-tiap terumbu terdapat nama orang dan ada pula nama perusahaan. Itulah nama-nama “adopter” terumbu karang tersebut. Kelompok nelayan desa Les membangun terumbu karangnya secara swadaya namun juga membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi, melalui program “Adopt the Coral”. Saat ini, program wisata “coral farm” dan “adopt the coral” ini merupakan satu-satunya di Indonesia. Sejak tahun 2011, wisata Coral Farm desa Les juga dikenal sebagai situs wisata Voluntourism maritim pertama di Indonesia. Wisatawan yang datang saling belajar bersama masyarakat untuk mendapatkan pengalaman yang saling memperkaya pengetahuan mereka. Promosi desa Les dilakukan secara swadaya dan telah menggapai pasar wisata eropa dan australia.

Wisatawan yang menjadi adopter dan bisa menyelam diberi kesempatan untuk menanam terumbu karangnya sendiri. Tentunya suatu hal yang cukup unik juga. Yang tak kalah menarik adalah mencoba menangkap ikan hias dengan menggunakan jaring kecil. Wisatawan peselam yang tertarik dapat belajar menangkap ikan hias dengan jaring kecil tanpa melukai dan membuat stress ikan yang ditangkap, hanya saja ikan hasil tangkapan itu harus segera dilepas kembali. Suatu pengalaman yang tidak dijumpai di tempat lain
Nelayan desa Les telah membuktikan bahwa pemanfaatan sumber daya alam tidak harus saling bertentangan, penangkapan ikan ramah lingkungan, dan pemanfaatan laut sebagai atraksi wisata ternyata dapat saling berdampingan dan bersama-sama meningkatkan kesejahteraan mereka. 

Untuk mencapai desa Les:
- Penerbangan nasional dan internasional ke Bali, dilanjutkan perjalanan darat ke desa Les. Paket perjalanan tersedia termasuk transport dan akomodasi serta aktifitas penyelaman.
- Keterangan lanjut bisa menghubungi: Made Mertha (Eka) +6281338547944 (bahasa Indonesia), Gari +6285739452577 (English)

8 komentar:

  1. Mas Cipta, tulisan anda sangat menginspirasi pembaca . apa bedanya dengan kisah Biorocks dari Gung Prana yng di pemuteran ada komen? regards mangku kandia

    BalasHapus
  2. Ada beberapa persamaan dan perbedaan antara yang terjadi di desa Les dan di Pemuteran.
    Persamaannya:
    - Kedua upaya konservasi itu berangkat dari keprihatinan akibat kerusakan lingkungan bawah air yang disebabkan praktek perikanan yang merusak.
    - Kedua upaya konservasi tersebut mendapat dukungan maksimum dari pemangku adat yang ada di wilayah masing-masing.
    - Kedua upaya tersebut melibatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama.
    - Kedua upaya tersebut telah berhasil mengembalikan kondisi lingkungan yang rusak menjadi lingkungan yang baik dan memberi manfaat yang berkelanjutan.

    Perbedaan:
    - Upaya konservasi di Pemuteran diinisiasi oleh pengusaha wisata (Gung Prana) bekerjasama dengan ilmuwan (Wolf Hilbertz (alm) dan Tom Goreau). Upaya konservasi di Les diinisiasi oleh kelompok nelayan (Minabakti Soansari) dengan cara "try and error" dibantu oleh LSM lokal.
    - Teknologi yang digunakan di Pemuteran (Biorock) bisa dianggap lebih canggih dan lebih mahal dibandingkan teknologi transplantasi sederhana di desa Les.

    BalasHapus
  3. menarik sekali mas cip, apa bisa di buat suatu studi mengenai valuasi ekonomi masyarakat desa les setalah kegiatan ini. bagaimana dengan status kawasan tersebut?, apakah sudah ada penetapan status nya menjadi kawasan konservasi, hal ini penting agar dapat pengelolaanya lebih berkembang. berapa luas kawasan yg telah di kelola, apakah sudah ada penambahan kawasan nya, kalau ada laporan studi ekologinya mungkin akan lebih menarik juga secara ilmu pengetahuan. sehingga kedepannya daerah yg ingin mencontoh les dapat pembelajaran.

    BalasHapus
  4. Keren, ayo tambah postingan lainnya ko Cip :)

    BalasHapus
  5. Ini bagus sekali! Harus kita dukung!

    Thanks for sharing om Cipto... :)

    BalasHapus
  6. Mantap Cip,keep writing my man.

    Surya Prihadi


    BalasHapus
  7. waw ini bener bener harus dibaca orang banyak, biar mereka lebih peduli dengan ekosistem laut, salut buat orang orang yang memiliki tingkat kesadaran dan kepeduliannya!!! aaahhh gabisa ngomong banyak, artikel ini keren!!!!!!!!

    BalasHapus
  8. Terimakasih tulisannya untuk kampung saya, Saya jadi malu lohh saya aja ga sadar akan potensinya. Pas cari spot untuk snorkling ketemu tulisan ini (saya lagi seneng snorkling meski amteur) Salam kenal yang Mas Cipto Aji Gunawan

    BalasHapus